Tim Pengendali Inflasi Daerah ( TPID ) yang di ketuai Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menggelar rapat koordinasi

264 views
Ketua TPID Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menghadiri rakor TPID di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Lampung

BANDARLAMPUNG, Lampungkham Tim Pengendali Inflasi Daerah ( TPID ) yang di ketuai Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menggelar rapat koordinasi dengan sejumlah steckholder terkait di Kantor Bank Indonesia Perwakilan Lampung, Selasa 15 Oktober 2019.

Dalam rapat tersebut membahas,cara menghadapi sejumlah risiko jangka menengah, hal itu sesuai amanat Wakil Presiden RI pada Rakornas TPID 2019, Pemerintah bersama Bank Indonesia akan konsisten melanjutkan upaya pengendalian inflasi guna menjaga daya beli masyarakat dan mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pengendalian inflasi dilakukan dengan memperkuat sinergi kebijakan, meningkatkan ketersediaan pasokan (K2) dan menjaga kelancaran distribusi pangan (K3). Inovasi program perlu ditingkatkan, sebagai contoh dalam menjaga kelancaran distribusi pangan, yakni melalui pembangunan pasar pengumpul. Pembangunan infrastruktur sebagai prasyarat memperlancar konektivitas belum cukup, sehingga perlu dukungan akses langsung ke pasar melalui adanya pasar pengumpul.

Kepala Bank Indonesia Perwakilan Lampung Budiharto Setyawan mengatakan, Bank Indonesia mempunyai visi menjadi bank sentral yang berkontribusi secara nyata terhadap perekonomian Indonesia dan terbaik di antara negara emerging markets.

” Dalam mewujudkan visi tersebut, Bank Indonesia menetapkan 7 misi, yang salah satunya berkaitan dengan inflasi, yakni mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah melalui efektivitas kebijakan moneter dan bauran kebijakan Bank Indonesia ” Kata Budi.

Dalam kapasitas sebagai bank sentral, sambungnya, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. ” Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa yang tercermin dalam inflasi, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin dalam nilai tukar ” jelasnya.

Inflasi yang rendah dan stabil lanjut Budi, dapat menjaga tingkat pendapatan dan daya saing bagi masyarakat. Bagi produsen dapat meningkatkan kepastian dunia usaha dan menjaga daya saing suatu Negara atau Daerah. Bagi pemerintah, inflasi yang rendah dan stabil dapat mendorong pembangunan yang optimal.

Baca Juga :  DPP Partai Golkar Resmi Tugaskan TEC Maju Pilkada Lamsel

“Sebagai ilustrasi, apabila anggaran APBD tahun depan meningkat 3,5% atau sesuai dengan perkembangan inflasi, namun kenyataannya terjadi inflasi 10% di tahun depan, maka untuk melaksanakan proyek dengan kualitas dan kuantitas yang sama pemerintah harus menambah jumlah anggaran. Sebaliknya, apabila inflasi terlalu kecil maka ekspansi untuk pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas. Selain itu, tambahan pendapatan juga akan terkompensasi oleh kenaikan harga. Inflasi yang tidak stabil akan membuat perencanaan pembangunan tidak optimal ” jelasnya lagi.

Sebagai otoritas moneter, dalam menjaga inflasi yang rendah dan stabil, Bank Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah sebagai otoritas fiskal. Koordinasi tersebut bertujuan untuk meningkatan kapasitas produksi serta perbaikan tata niaga produk pangan strategis guna mendukung stabilitas harga pangan dan kebutuhan masyarakat.

” Koordinasi yang selama ini telah dilakukan dengan baik dapat dikelompokkan menjadi empat langkah utama 4K, yaitu Ketersediaan Pasokan, Keterjangkauan Harga, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi yang Efektif ” bebernya.

Kepala Bank Indonesia Perwakilan Lampung Budiharto Setyawan

Sekedar informasi, melihat data historis pada tahun 2018 hingga September 2019, volatilitas harga di Provinsi Lampung seringkali terjadi akibat pergerakan harga komoditas bahan makanan, sepeti aneka cabai, beras, bawang merah dan bawang putih yang seringkali menjadi penyumbang terbesar inflasi maupun deflasi di Provinsi Lampung.

Selain itu, kenaikan tarif angkutan di periode mendekati hari raya keagamaan juga seringkali menjadi pendorong inflasi Lampung. Penyebab inflasi yang berulang tersebut seharusnya dapat diantisipasi dengan koordinasi antar anggota TPID dan stakeholders terkait.

Menghadapi sejumlah risiko tersebut, beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat kami sampaikan, antara lain Kerja sama TPID dan BULOG dalam memastikan ketersediaan cadangan beras serta keterjangkauan harga komoditas tersebut di pasar. Melakukan intensifikasi pendampingan dan pelatihan penanganan komoditas hortikultura pada musim penghujan, memitigasi ketersediaan pasokan hortikultura dengan mempercepat LTT (Luas Tambah Tanam). Merencanakan liburan akhir tahun dengan lebih baik.Memitigasi risiko inflasi yang disebabkan oleh tingginya permintaan konsumsi rokok dengan sosialisasi hidup sehat tanpa rokok. Memastikan ketersediaan stok barang kebutuhan serta meningkatkan kerja sama Perdagangan.

Baca Juga :  Telkomsel Siaga Berbagi Kasih Tanpa Batas di Momen Natal 2022

Koordinasi dengan Satgas Pangan juga perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya penimbunan komoditas yang merugikan masyarakat. Risiko level kenaikan tahunan harga barang dan jasa di tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan normal tahunan tahun sebelumnya. Hal ini karena dibarengi dengan kebijakan yang dapat mendorong biaya produksi (cost push inflation) dan peningkatan biaya distribusi (distribution cost). Peningkatan biaya produksi diperkirakan antara lain karena: Risiko kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan berlaku 1 Januari 2020, Risiko kenaikan tarif Listrik 900 VA (penghapusan subsidi pelanggan listrik rumah tangga mampu 900 VA mulai tahun depan), Risiko kenaikan harga BBM dan gas LPG tiga kilogram bersubsidi, sinyal ditangkap dari penurunan anggaran subsidi energi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas (LPG) tiga kilogram pada APBN 2020, Risiko kenaikan tarif angkutan online. Tarif yang ditetapkan Kemenhub untuk Zona I (Sumatra, Jawa, Bali kecuali Jabodetabek): Rp 1.850-2.300 per km dengan biaya minimal Rp 7.000-10.000, Risiko kenaikan UMR tahunan dengan level lebih tinggi akibat meningkatnya biaya hidup dan transportasi.

Peningkatan biaya distribusi diperkirakan antara lain karena Risiko kenaikan tarif tol di Jawa yang akan berdampak kepada peningkatan ongkos angkut sehingga mempengaruhi harga barang yang berasal dari Jawa (second row effect), Risiko kenaikan harga BBM khususnya Solar di tahun 2020, Risiko peningkatan tarif penyeberangan Merak-Bakauheni yang mulai dilakukan secara bertahap.

Risiko yang berasal dari kemungkinan terhambatnya penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai. Terlambatnya BPNT berisiko menyebabkan masyarakat penerima BPNT akan mencari beras di pasar yang berpotensi meningkatkan harga beras (demand pull inflation). ( * )